Dengan
mengucap syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa serta ucapan terima
kasih kepada semua pihak yang telah bekerja sama guna memperlancar proses
launching dan bedah buku “Biografi dan Jejak Pemikiran Paulus Waterpauw” pada
tanggal 31 Desember 2013 pukul 10.00 Wit
dan sekaligus release blog pribadi dengan alamat pauluswaterpauw.blogspot.com maka untuk pertama kalinya, saya mencoba
meluncurkan ide pemikiran yang merupakan konsepsi wawasan kebangsaan guna
melengkapi wawasan dan cara pandang sesama anak bangsa dalam upaya
mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Terkait
dengan hal itu, beberapa catatan yang dimaksud sebagai buah pikir untuk
mempertahankan nilai-nilai kebangsaan perlu terus didorong pada berbagai
lapisan strata sosial masyarakat guna terjaganya persatuan dan kesatuan Bangsa
Indonesia.
Indonesia
merupakan negara yang sarat akan perbedaan karena terdiri dari bentangan ribuan
pulau yang dipisahkan oleh laut, serta karakteristik masyarakat yang
berbeda-beda di setiap pulaunya. Menyadari hal tersebut, The Founding
Fathers atau para pendahulu kita mengkreasi masterpiece kerangka
dasar pemersatu bangsa berupa konsep "Bhineka Tunggal Ika" dengan
mencetus dasar negara yang disebut Pancasila. Pancasila merupakan foundamental
NKRI yang terdiri dari falsafah, ideologi dan dasar negara serta mengandung
nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi seluruh bangsa Indonesia. Nilai-nilai
itu bersumber dari nilai agama, adat-istiadat dan nilai perjuangan bangsa dalam
melepaskan diri dari segala bentuk penjajahan. Nilai-nilai luhur tersebut
mengkristal dalam rumusan Pancasila sebagai falsafah bangsa yang mencerminkan
hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan
lingkungan (alam). Pancasila merupakan pandangan hidup yang diyakini bangsa
Indonesia sebagai suatu kebenaran yang dijadikan sebagai falsafah hidup bangsa.
Idealisme tersebut bersifat abstrak yang kemudian dijadikan sebagai ideologi
nasional.
Dampak
dari penjajahan oleh Belanda
selama 350 tahun (3,5 abad) dan 3,5 tahun
oleh Jepang telah membulatkan tekad bangsa Indonesia untuk merdeka. Ketika
pada awal tahun 1945, Jepang dalam Perang
Dunia II mulai menghadapi kekalahan melawan Tentara
Sekutu. Dan akhirnya situasi tersebut telah mendorong Jepang memberikan janji
manis akan memerdekakan
Indonesia. Pasca menyerahnya Jepang kemudian Pada
tanggal 17 Agustus
1945, Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya menjadi negara Indonesia. Indonesia pun
menuntut semua wilayah bekas Hindia Belanda sebagai wilayahnya. Akan tetapi,
Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat sebagai negara terpisah karena
adanya perbedaan etnis. Status Papua bagian barat tidak terselesaikan dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag
dan diputuskan untuk ditunda pembahasannya selama 1 tahun. Penyelesaian status
Papua bagian barat menjadi berlarut-larut dan tidak selesai juga hingga tahun 1961, sampai terjadilah pertikaian
bersenjata antara Indonesia dan Belanda pada Desember 1961 dan awal 1962 untuk memperebutkan
wilayah ini. Melalui Perjanjian New York, akhirnya disetujui untuk
menyerahkan sementara Papua bagian barat kepada PBB melalui United Nations Temporary Executive
Authority (UNTEA) sebelum diberikan sepenuhnya kepada Indonesia pada
1 Mei 1963. Kedudukan Papua
bagian barat menjadi lebih pasti setelah diadakan sebuah referendum act of free choice pada tahun
1969, dimana rakyat Papua
bagian barat memilih untuk tetap menjadi bagian dari Indonesia. Berkat
perjuangan The Founding Fathers
akhirnya kemudian Papua dikukuhkan sebagai wilayah NKRI.
Papua salah satu provinsi dari Indonesia yang terletak di Pulau Nugini bagian
barat atau west New Guinea. Merupakan provinsi terluas di Indonesia yang
terletak di bagian paling timur Indonesia. Belahan timurnya merupakan negara Papua
New Ginea atau East New Guinea. Provinsi Papua dulu mencakup seluruh
wilayah Papua bagian barat, namun sejak tahun 2003 dibagi menjadi dua provinsi
di mana bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya memakai
nama Papua Barat. Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, wilayah ini
dikenal sebagai Nugini Belanda (Nederlands Nieuw-Guinea atau Dutch
New Guinea). Setelah bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
wilayah ini dikenal sebagai Provinsi Irian Barat kemudian sejak tahun 1969
hingga 1973. Namanya diganti menjadi Irian Jaya oleh Presiden Soeharto kala
itu, pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas PT. Freeport Indonesia, nama
yang tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2002. UU No. 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Papua mengamanatkan nama provinsi ini untuk diganti
menjadi Papua. Pada tahun 2003, disertai oleh berbagai protes (penggabungan Papua
Tengah dan Papua Timur), Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah
Indonesia; bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya
menjadi Provinsi Irian Jaya Barat (setahun kemudian menjadi Papua Barat).
Bagian timur inilah yang menjadi wilayah Provinsi Papua pada saat ini. Pulau
Papua merupakan pulau kedua terluas di Dunia setelah Green Land dan
merupakan pulau terluas di Indonesia dengan karakteristik dan budaya yang
sangat eksotis berbeda dengan wilayah lain yang ada di Indonesia. Berbicara
mengenai Papua, maka akan identik dengan Otonomi Khusus yang dimiliki oleh
Papua berdasar UU RI Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Selain itu,
kekhususan Papua juga memiliki Lembaga representasi kultural masyarakat Papua
yang disebut MRP (Majelis Rakyat Papua) dimana lembaga tersebut memiliki peran
aktif dalam menyerap aspirasi masyarakat di segala bidang bersinergi dengan
DPRP dan Pemerintah Provinsi Papua dalam tujuan membangun Papua ke arah yang
lebih baik. Papua juga kerap kali dicitrakan sebagai daerah rawan ancaman
separatisme serta konflik komunal yang melibatkan masyarakatnya.
Bermodalkan
potensi alam dan kekhususan serta keunikan yang dimiliki, Papua seharusnya
menjadi Provinsi yang dapat mensejahterakan masyarakatnya guna percepatan
pembangunan sekaligus secara tidak langsung berimplikasi terhadap tangguhnya
keutuhan NKRI. Untuk mewujudkan hal tersebut penting halnya kita flash back sejarah
Bangsa Indonesia ketika dirintis oleh The
Founding Fathers , dimana para pendahulu kita telah mencetuskan
konsep-konsep nilai Kebangsaan dengan menjadikan Pancasila sebagai Building
Block atau kerangka dasar untuk mewujudkan tujuan nasional yang tertuang
dalam UUD 1945. Pemahaman nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman adalah wajib
untuk dilaksanakan oleh seluruh anak bangsa secara terus menerus dan
berkesinambungan terutama kepada para penyelenggara negara. Melihat realitas
Papua saat ini, saya mencoba menuangkan ide/konsep sekaligus penugasan akhir
saya di Lemhannas RI berupa karya tulis (Kertas Karya Perorangan atau Taskap)
yang berjudul “ REVITALISASI NILAI-NILAI PANCASILA BAGI PENYELENGGARA NEGARA
GUNA PERCEPATAN PEMBANGUNAN DI WILAYAH PAPUA DALAM RANGKA KEUTUHAN NKRI “.
Dimana dalam Taskap tersebut Pancasila dalam konteks revitalisasi nilai-nilai
Pancasila bagi penyelenggara negara adalah sebagai acuan penuntun, pengikat
moral yang terimplementasi dalam sikap dan tingkah laku setiap aparatur
penyelenggara negara di semua tingkatan baik fungsi legislatif, yudikatif,
eksekutif termasuk lembaga representasi kultural Papua.
Revitalisasi, berasal dari suku kata “vital”, yang mendapat
imbuhan “re” dan akhiran “isasi”. Menurut Pius A. Partanto dan M. Dahlan Yakub Al
Barry, “vital” mengandung
pengertian sangat penting dan utama bagi hidup; penting sekali. Jadi
revitalisasi merupakan proses menata kembali suatu tata nilai disesuaikan
dengan perkembangan lingkungan strategis, sehingga menjadi suatu tata nilai
yang penting. Sedangkan Nilai-Nilai Pancasila adalah kristalisasi dari budaya
bangsa Indonesia yang diyakini mengandung kebenaran, ketepatan dan kemanfaatan
yang selanjutnya dijadikan dasar dan motivasi segala sikap, tingkah laku dan
perbuatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara guna mencapai
tujuan nasional sebagaimana yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
Pancasila
merupakan bagian penting dari NKRI yang wajib dipedomani oleh seluruh
masyarakat Indonesia, lebih vital lagi khususnya bagi para penyelenggara negara
dimana penyelenggara negara merupakan garda depan dalam mewujudkan tujuan
nasional yakni tercapainya masyarakat yang sejahtera. Melihat realita yang ada
khususnya di Papua telah terjadi permasalahan tentang pemahaman nilai-nilai
Pancasila bagi penyelenggara negara. Permasalahan utama yang terjadi pada nilai-nilai Pancasila bagi
penyelenggara negara saat ini adalah rendahnya kemampuan untuk mengendalikan
diri khususnya penyelenggara negara sebagai pelaku utama dalam menyelenggarakan
jalannya Pemerintahan.
Nilai-nilai Pancasila oleh bangsa Indonesia
diyakini sebagai pandangan hidup yang akan membawa bangsa pada kehidupan lebih baik, lebih adil dan bijaksana
serta melekat pada kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam setiap sila adalah nilai dan jiwa
religius, nilai dan jiwa kemanusiaan, nilai dan jiwa persatuan, nilai dan jiwa
kerakyatan serta nilai dan jiwa keadilan sosial. Pancasila bersifat fundamental
sebagai nilai-nilai dasar yang objektif, positif, instrinsik dan transenden. Kualitas penurunan pengamalan Pancasila
terindikasi dari pertama, Pancasila
semakin sulit dan termarjinalkan untuk bertahan dalam tatanan masyarakat yang
makin melupakan Pancasila. Kedua, Pancasila
belum membudaya dan mengakar kepada masyarakat. Ketiga, nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara
belum dipahami dan dihayati oleh aparatur Pemerintah. Keempat, kurangnya sikap dan perilaku keteladanan
para pemimpin bangsa.
Dapat dikemukakan
dan dijelaskan bagaimana nilai-nilai Pancasila bagi penyelenggara negara ditinjau dari indikasi tersebut di atas adalah
sebagai berikut :
a. Kondisi
Nilai-Nilai Dasar Pancasila
1) Sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" sesuai dengan nilai religius
dan makna yang terkandung di dalamnya dapat dijelaskan sebagai berikut :
a) Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta segala sesuatu dengan segala
sifat-sifatnya yang sempurna dan suci. Seungguhnya rakyat Indonesia
adalah rakyat yang tumbuh dan dibesarkan oleh sejarah yang religius. Sejak pemberian Otonomi Khusus dengan gelontoran uang dari
Pemerintah Pusat yang sesungguhnya harus diamanahkan untuk kesejahteraan rakyat
tetapi banyak disalahgunakan dalam praktik Kepemerintahan di Papua. Gaya hidup hedonis pasca Otonomi Khusus Papua telah
mengikis moralitas hampir
sebagian penyelenggara negara di Papua.
b) Peran
pemimpin sebagai fungsi penyelenggara
negara yang merupakan suri teladan nilai-nilai Ketuhanan, etika moral dalam kehidupan sehari-hari yang akan
diikuti mayarakat
Indonesia sangat penting dalam menjaga moralitas masyarakat
bangsa. Di Papua peran ini seakan
sirna yang terindikasikan dari maraknya kasus-kasus Korupsi yang membelit para
Kepala Daerah, anggota DPRD dan penyelenggara negara lainnya. Lambannya
pelaksanaan pembangunan di wilayah Papua akan memupuk subur benih-benih
ketidakpuasan dan dijadikan momentum diarahkan untuk tujuan melepaskan dari
NKRI.
2) Sila
"Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" sesuai nilai kemanusiaan dan maknanya dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a) Manusia
sebagai makhluk paling sempurna yang beradab dan berbudaya memiliki daya cipta,
daya karsa dan daya rasa dalam menunjang kualitas kehidupannya
masih belum terlihat nyata di lapangan yang nampak adalah terjadi kesenjangan
sosial yang cukup memprihatinkan di atas tanah Papua yang kaya sumber daya alam.
b) Perlakuan secara adil
dan bijaksana terhadap sesama manusia dan alam sekitarnya masih belum
proporsional dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Papua. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini,
masih banyak oknum penyelenggara negara yang tidak
peka akan nilai-nilai
kemanusiaan yang menempatkan manusia pada harkat dan martabatnya yang
tertinggi. Konflik antar suku dalam perjuangan politik kekuasaan pada proses
Pemilukada selalu terjadi dan memakan korban jiwa. Egoisme para calon pemimpin
telah mempolarisasi masyarakat ke dalam primordialisme yang
menempatkan masyarakat Papua sebagai korban ambisi politik. Ketidakpedulian
akan kemanusiaan dalam praktik politik di Papua telah menjelma menjadi pelanggaran-pelanggaran hukum dan Hak Asasi
Manusia.
c) Penyelenggaraan
Pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan sumber daya manusia di wilayah Papua
masih sangat jauh dari harapan, belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan,
belum memungkinkan tercapainya pembangunan karakter pemimpin yang amanah
memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Para penyelenggara Pemerintahan sibuk
dengan euforia
kemenangan dengan pesta kemenangan dan melupakan visi dan misi untuk membangun Papua
baru yang damai dan sejahtera. Hal
ini berdampak pada lambannya upaya mencapai kesejahteraan rakyat yang pada akhirnya memicu
timbulnya gerakan separatisme dan keinginan memisahkan diri dari bingkai NKRI.
3) Sila
"Persatuan Indonesia" yang
mengandung nilai-nilai persatuan bangsa dengan makna di dalamnya
dapat dijelaskan sebagai berikut :
a) Kebanggaan dan kecintaan akan bangsa dan
negara (nasionalisme) serta semangat bangsa Indonesia masih belum terlihat
secara utuh, hal ini terbukti masih adanya kebijakan dari penyelenggara negara di Papua yang menciptakan situasi pertentangan dan terjadinya kerusuhan-kerusuhan
serta konflik sosial
di beberapa daerah yang hanya untuk
kepentingan kelompoknya. Kebijakan pemekaran daerah provinsi di Papua yang tidak
didukung dengan pendewasaan berdemokrasi. Proses Pilkada hingga
pelantikan bupati penuh dengan konflik. Proses demokrasi yang primordial ini
menjadi salah satu contoh pelanggaran kemanusiaan terhadap kebebasan memilih
dan dipilih dalam alam demokrasi dan pastinya akan berdampak pada lambannya pembangunan dan polarisasi masyarakat yang melemahkan NKRI.
b) Pengakuan
atas rasa persatuan dan kesatuan wilayah Indonesia dengan kewajiban
membela dan menjunjung tinggi patriotisme dalam mempertahankan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia masih belum terwujud dengan baik. Hal ini masih
terlihat adanya arogansi-arogansi yang bersifat kedaerahan dan sampai saat ini masih
ada sebagian penyelenggara negara yang mempunyai
pemikiran dan tindakan yaitu ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
c) Kondisi tersebut
menimbulkan benih-benih disintegrasi dan gerakan separatis di Papua. Hal tersebut seakan terjadi pada momentum yang tepat. Penyelenggaraan
Pemerintahan yang dijalankan saat ini kurang memperdulikan keinginan sebagian
besar masyarakat di wilayah Papua, lambannya pelaksanaan pembangunan di wilayah
Papua menimbulkan gagasan kemerdekaan atau melepaskan diri dari NKRI.
4) Sila
"Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan" sesuai dengan
nilai kerakyatan dan maknanya dapat dijelaskan sebagai berikut :
a) Kedaulatan yang tertinggi berada ditangan rakyat, hikmat
kebijaksanaan berarti penggunaan pikiran atau akal sehat untuk persatuan
kesatuan bangsa dan kepentingan rakyat, namun kenyataannya masih adanya oknum penyelenggara negara yang dalam pelaksanaan tugas tidak
menunjukkan iktikad yang baik. Keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) sebagai lembaga legislasi serta Majelis Rakyat Papua (MRP)
sebagai representasi kultur, agama dan
perempuan masyarakat
Papua belum menunjukkan kinerjanya sebagai penyambung lidah rayat. Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) yang diharapkan sebagai roda penggerak cita-cita
masyarakat terjerat dalam kasus Korupsi. Majelis Rakyat Papua (MRP) yang
merupakan representasi kultural, agama dan
perempuan masyarakat
Papua terlihat sibuk menangani
isu-isu politik yang bahkan di luar dari tugas dan tanggung jawabnya.
b) Keputusan diambil
berdasarkan musyawarah untuk mufakat yang merupakan nilai-nilai luhur Pancasila sesungguhnya telah tercermin
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat Papua. Namun disayangkan peranan
Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai wakil budaya dan adat dalam penataan
terhadap masyarakat adat guna melindungi kelestarian dan peran adat
sebagai regulator sosial yang dituangkan ke dalam Peraturan Daerah
Khusus (Perdasus) belum sungguh-sungguh diimplementasikan untuk pemberdayaan masyarakat adat. Mekanisme pengelolaan hak
ulayat seolah mencari jalannya sendiri, pemalangan dan pemalakan terjadi hampir
setiap hari yang terkait dengan hak-hak ulayat.
c) Tatanan politik di
tanah Papua relatif terus berkembang ke arah isu-isu separatisme. Kebijakan Pemerintah dalam
membangun tatanan politik di Papua sering kali bersifat sektoral dan tidak menyentuh lapisan
masyarakat di pedalaman. Mekanisme penyaluran aspirasi masyarakat di
Papua belum berlangsung sebagaimana yang diharapkan baik oleh masyarakat Papua
sendiri maupun oleh Pemerintah. Hal ini bisa terjadi karena keengganan para
penyelenggara Pemerintahan yang notabene terpilih oleh rakyat untuk turun dan
mendengar jeritan hati masyarakat. Di beberapa kabupaten/kota bahkan Bupati dan
SKPD sangat jarang
berada di tempat dan sibuk dengan urusan yang tidak jelas. Roda
pembangunan yang tidak berjalan telah menimbulkan kegalauan yang meluas pada
pertanyaan besar.
5) Sila
"Keadilan Sosial bagi Seluruh
Rakyat Indonesia" sesuai dengan nilai keadilan sosial dan
maknanya dapat dijelaskan sebagai berikut :
a) Cita-cita
masyarakat yang adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia masih jauh dari
kenyataan, karena sampai saat ini masih terjadinya kesenjangan pembangunan antara kawasan Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur. Kehidupan ekonomi masyarakat Papua pada umumnya
masih tertinggal. Hal ini disebabkan antara lain karena lokasi yang terisolasi
dengan tingkat aksesibilitas infrastruktur yang sangat minim, rendahnya taraf
sosial ekonomi dan masih banyaknya jumlah penduduk miskin dan desa tertinggal.
Kesenjangan ekonomi masyarakat Papua mempengaruhi watak dan pola hidup
masyarakat setempat yang masih sederhana.
b) Perlakuan yang adil di
segala bidang kehidupan baik materiil maupun spiritual terutama untuk
mendapatkan perlakuan yang adil dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya,
pertahanan keamanan dan hukum, namun pada kenyataannya masih jauh dari harapan
bersama, di sana-sini masih terlihat dan dirasakan adanya rasa ketidakadilan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Papua.
c) Tanah Papua memiliki sumber kekayaan alam yang
mencakup flora, fauna, mineral, tanah dan pasir, air dan lautan, energi,
bahan-bahan tambang serta potensi perhutanan, pertanian dan peternakan, lautnya
terbentang luas dengan
keindahan alam dan keragaman biotanya. Akan tetapi dengan potensi sumber daya
alam yang sangat kaya, kekayaan yang dimiliki Papua dinilai oleh banyak
kalangan tidak sepenuhnya dapat dinikmati oleh masyarakat Papua. Terdapat
kesenjangan yang relatif besar dalam pembangunan antara Provinsi Papua dan Papua Barat dengan
provinsi lain di
kawasan barat Indonesia. Indeks Pembangunan manusia di Provinsi Papua dan Papua
Barat adalah yang terendah di Indonesia yakni Papua dengan indeks 64,00 dan
Papua Barat dengan indeks 67,95, dibandingkan Indeks Pembangunan manusia
nasional rata-rata 71,17. Lebih dari pada itu Provinsi Papua sesuai sensus BPS
Tahun 2010 masih masuk 10 besar provinsi termiskin di Indonesia dan Provinsi
Papua serta Provinsi Papua Barat adalah yang tertinggi dengan persentase
kemiskinan mencapai Papua 34,88 %
dan Papua Barat 36,80 %.
b. Kondisi Nilai Instrumental Pancasila
Sifat nilai instrumental adalah kontekstual
sehingga dapat disesuaikan dengan situasi kondisi perkembangan zaman. Di era reformasi pembicaraan tentang
Pancasila seolah-olah menjadi tabu. Berbicara tentang Pancasila seakan-akan
berbicara tentang Orde Baru. Berbicara tentang Pancasila seolah-olah kembali ke
zaman indoktrinasi melalui kurangnya pembinaan nilai-nilai Pancasila bagi penyelenggara
negara, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah
dapat menyebabkan masuknya pemahaman ideologi lain yang mengancam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di wilayah Papua.
Penjabaran nilai-nilai Pancasila yang telah masuk
secara instrumental ke dalam
pasal-pasal UUD NRI 1945 seyogyanya masuk sebagai roh dalam
Peraturan-Peraturan
Daerah yang dalam kerangka Otonomi Khusus Papua yakni Peraturan Daerah Provinsi
(Perdasi) dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus). Namun kenyataanya sampai dengan saat ini
implementasi Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) belum terlaksana,
bahkan sebagian belum dapat dirampungkan. Berbagai permasalahan yang dihadapi dalam proses legislasi Peraturan
Daerah Provinsi (Perdasi) dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) menunjukkan
komitmen yang rendah bagi penyelenggara negara di Papua dalam penjabaran
nilai-nilai instrumental Pancasila.
c. Kondisi Nilai
Praksis Pancasila
Sifat nilai praksis sangat dinamis dikarenakan
menginginkan tegaknya nilai-nilai instrumental ke dalam kenyataan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Penerapan nilai praksis dapat
diwujudkan melalui perilaku sehari-hari oleh eksekutif, legislatif, organisasi
sosial politik, termasuk penyelenggara negara dan warga
masyarakat secara perorangan. Kondisi saat ini nilai praksis Pancasila banyak
mengalami kritikan karena sangat lemah dalam pelaksanaannya, masih banyak oknum penyelenggara negara yang tidak
disiplin dan berperilaku
tidak terpuji, misalnya Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme, perselingkuhan, perjudian serta penggunaan Narkoba yang seharusnya
diberantas tuntas ataupun pemberitaan tidak jujur dari kenyataan kejadian yang
sebenarnya.
Berdasarkan uraian dan analisis tersebut di
atas, guna percepatan pembangunan di
wilayah Papua dalam rangka keutuhan NKRI, sebagaimana yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Peningkatan pemahaman
nilai-nilai Pancasila, nasionalisme dan wawasan kebangsaan Indonesia di Papua dilakukan dengan menumbuhkan kesadaran pribadi dan
organisasi melalui kelembagaan pemerintah daerah selaku birokrasi, Dewan
Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) selaku lembaga legislasi dan Majelis Rakyat
Papua (MRP) selaku representasi kultural masyarakat Papua melalui upaya
penyegaran pengetahuan, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila bagi pemimpin dan seluruh
staf serta keluarganya, penyusunan program revitalisasi
nilai Pancasila melalui event seni budaya, penetapan Perdasus tentang
revitalisasi nilai-nilai Pancasila dan membangun kesadaran bangsa
melalui pelurusan sejarah Papua.
b. Optimalisasi kepemimpinan
daerah yang berwawasan Pancasilais di Papua adalah dengan mewujudkan kepemimpinan yang bermoral, mampu menyerap
aspirasi masyarakat, menjadi teladan, kepemimpinan yang bersih dan berwibawa
melalui upaya menyusun rencana strategis kaderisasi kepemimpinan daerah yang
Pancasilais, kampanye budaya kerja dan budaya hidup Pancasilais, penegakkan hukum guna membangun citra kepemimpinan yang baik, peningkatan peran
masyarakat dalam membentuk dan mengontrol perilaku aparatur penyelenggara
negara di Papua.
c. Penyelenggaraan pembangunan di
Papua sesuai dengan harapan masyarakat Papua melalui Otonomi Khusus Papua akan mampu mengangkat harkat, martabat dan kesejahteraan masyarakat Papua
dengan melakukan upaya akselerasi pembangunan kampung dan distrik, peningkatan
kapasitas dan kapabilitas serta akses lembaga adat dalam pembangunan, membangun
infrastruktur dasar, membangun kualitas sumber daya manusia dan membangun
sektor ekonomi serta kesejahteraan masyarakat Papua.
d. Pembentukan
kelembagaan guna sosialisasi, pengembangan dan pengawasan nilai-nilai Pancasila
serta wawasan kebangsaan di Papua adalah untuk
menumbuhkan kesadaran jati diri dan wawasan kebangsaan penyelenggara negara di
Papua dilakukan melalui pembentukan Komite Revitalisasi Ideologi Pancasila
(KRIP) dan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kebangsaan (PPPK) dan pengkajian
terhadap postur dan struktur kelembagan pemerintah daerah serta merevitalisasi
peran aparatur pemerintah daerah, Dewan Perwakilan Daerah Papua (DPRP) dan
Majelis Rakyat Papua (MRP) menuju good governance.
e. Untuk membangun kembali jati diri bangsa dari
berbagai ancaman berupa infiltrasi budaya maupun polarisasi ideologi melalui
kedaulatan politik, ekonomi dan budaya sehingga mampu mandiri dan tetap
dihargai bangsa lain maka melalui pendidikanlah seyogyanya dilaksanakan
penanaman wawasan kebangsaan sejak dini untuk menghasilkan sumber daya manusia
Papua yang unggul tidak hanya secara individual namun unggul secara
partisipatoris sehingga mampu membangun dirinya serta aktif ikut membangun
masyarakat melalui persaingan sehat.
f. Revitalisasi nilai-nilai Pancasila bagi aparatur
Pemerintah Daerah Papua,
Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural, agama dan
perempuan sekaligus sebagai teladan dan role model dalam praktik
nilai-nilai Pancasila apabila dilaksanakan dengan konsisten dan
berkesinambungan akan membawa dampak positif terhadap percepatan program
pembangunan menuju kesejahteraan masyarakat Papua yang akan mempengaruhi ketahanan
nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Agar revitalisasi nilai-nilai Pancasila bagi penyelenggara negara guna
percepatan pembangunan di wilayah Papua dalam rangka keutuhan NKRI, dapat
dilaksanakan secara optimal, maka diajukan beberapa saran sebagai berikut :
a. Perlu pembentukan sebuah lembaga yang bertanggung
jawab terhadap keberhasilan revitalisasi nilai-nilai Pancasila di Papua.
b. Perlu dilakukan pentahapan dan periodisasi terhadap pencapaian strategi dan upaya revitalisasi
nilai-nilai Pancasila terhadap penyelenggara negara di Papua dengan prioritas
sasaran jangka pendek melakukan penyegaran pemahaman nilai-nilai Pancasila guna
pembentukan character building kepemimpinan
di Papua, jangka menengah membentuk Komite Revitalisasi Ideologi Pancasila
(KRIP) dan atau Pusat Pendidikan Pelatihan Kebangsaan (PPPK) dan jangka panjang
menguatkan kembali semangat dan jiwa ke-Indonesiaan yang Pancasilais guna
percepatan pembangunan Papua dalam rangka menjaga keutuhan NKRI.
c. Guna
menjadikan penapis dan penyalur menduduki jabatan politik maupun sebagai
anggota lembaga representasi kultural dan
juga sebagai pemimpin politik di lembaga eksekutif dan birokrasi maka disarankan
pada saat rekruitmen dan penjaringan para calon dimaksud wajib membuat tulisan
yang mendeskripsikan pemahamannya tentang ideologi Pancasila dan wawasan
kebangsaan.
d. Agar masyarakat
memiliki peran serta dalam mengontrol dan membentuk perilaku para penyelenggara
negara sesuai dengan nilai-nilai Pancasila maka perlu di sosialisasikan
slogan-slogan antisipasi perilaku penyimpang para penyelenggara negara.
e. Guna
meningkatkan pemahaman nilai-nilai Pancasila dikalangan mahasiswa dan pelajar,
maka disarankan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) sebagai materi
ujian nasional atau ujian sekolah dengan standar nilai minimal angka 7
(tujuh).
f. Perlu diikutsertakan peran para tokoh kelembagaan formal dan non-formal seperti tokoh adat, agama, kepala suku/Ondoafi, pemuda dan perempuan dalam rangka revitalisasi nilai-nilai Pancasila terhadap aparatur Pemerintah di
Papua secara komprehensif, holistik dan integral.
Demikian sedikit uraian
saya tentang pentingnya revitalisasi nilai-nilai Pancasila khususnya bagi
penyelenggara negara di Papua guna mempercepat pembangunan di Papua dalam
rangka keutuhan NKRI, semoga dapat bermanfaat.
Jayapura, 31 Desember 2013
Drs.
Paulus Waterpauw